Chapter 6: The Hungarian Connection
Pada era 50 hingga 60an, semua tim sukses memiliki latar belakang yang hampir sama, yakni dipengaruhi oleh Hungaria. Chapter ini menceritakan perkembangan sepakbola di negeri itu hingga mampu menjadi ‘kiblat’ sepakbola di era setelah perang. Uniknya, ini juga memiliki kesamaan dengan wunderteam dan passovotchka; yakni ketidakberdayaan sepakbola Inggris. Ketiga cerita ini mengajarkan hal yang sama kepada Inggris yang sombong (dan bebal).
November 1953, inggris mengadakan pertandingan bertajuk Match of the Century melawan Hungaria. Laga ini yang digadang-gadang akan menjadi pertunjukkan supremasi sepakbola Inggris. Dan tentu saja ini benar-benar menjadi pertandingan yang paling diingat sepanjang abad, namun dengan catatan negatif. Inggris kalah telak dengan skor 6-3 di depan publik sendiri. Inggris berambisi membalas dendam dan mengajak tanding ulang di kandang Hungaria setahun kemudian. Hasilnya, Inggris terbantai 7-1 oleh aranycsapat (generasi emas) Hungaria asuhan Guztav Sebes. Hasil ini menyadarkan publik Inggris akan kemunduran sepakbolanya selama ini.
Sejarah panjang menghiasi perkembangan sepakbola Hungaria hingga mencapai masa keemasannya pada 1950an. Julukan Mighty Magyars disematkan kepada timnas Hungaria kala itu karena berhasil meraih rentetan hampir tak terkalahkan selama 6 tahun. Satu-satunya kekalahan yang dialami Hungaria selama 6 tahun itu adalah final piala dunia 1954.
Selama setengah abad Hungaria berada di balik bayang-bayang Austria yang sama-sama berada di eropa tengah. Kepopuleran Hugo Meisl, Wunderteam, termasuk gaya Danubian Whirl membanjiri sepakbola Hungaria. Namun pengaruh WM Inggris pun juga berkembang lama disana, tepatnya ketika pelatih legendaris Tottenham Arthur Rowe melatih di Hungaria sesaat sebelum perang meletus. WM di Hungaria memiliki pendekatan berbeda dengan WM ala Inggris yang mengedepankan sisi pertahanan dari third back. Sedangkan Rowe lebih berfokus pada cara menyerang. Di saat bersamaan, wunderteam dengan danubian whirl-nya sering dikritik pada aspek menyerang yang kurang greget. Maka secara tidak langsung taktik Hungaria merevisi taktik wunderteam masa itu.
Hungaria mencari-cari penyerang yang mampu berperan sebagai pencetak gol utama “classic no 9”, untuk merevisi pergerakan false nine ala Sindelar, penyerang utama wunderteam. Hungaria butuh pemain dengan fisik yang kuat dan tangguh seperti penyerang Inggris pada umumnya. Namun masalahnya pemain ‘otot’ seperti ini jarang ada di Eropa tengah. Seperti hal nya penyerang tipe ‘otak’ macam Sindelar juga jarang ditemui di tanah Inggris. Akhirnya muncul ide unik, “daripada memaksa memasang pemain yang tidak sesuai dengan tugasnya, mengapa tidak menjalankan dua tipe penyerang sekaligus?”. Inilah yang nantinya memunculkan konsep dua striker.
Hidegkuti, penyerang-tengah Hungaria disuruh bermain lebih ke belakang dengan tugas sebagai gelandang serang. Kemudian dua penyerang-dalam disuruh untuk bermain lebih dekat ke gawang dibanding formasi WM pada umumnya, ini menjadikan bentuk W pada WM menjadi M. Dua pemain sayap bermain lebih mundur sedikit untuk memudahkan bermain passing dengan Hidegkuti.
Posisi gelandang serang termasuk baru dikenal saat itu. Posisinya berada di depan para pemain tengah namun masih di belakang para penyerang, menjadi penghubung antara keduanya. Saat melawan Inggris yang menggunakan WM, maka posisi Hidegkuti akan dijaga langsung oleh bek tengah. Disinilah bencananya, saat bek tengah maju mengejar Hidegkuti maka dua penyerang lain akan masuk di celah antara dua fullback. sedangkan jika bek tengah menunggu di belakang maka Hidegkuti akan leluasa memegang bola dan mengatur ritme permainan. Sayangnya Inggris terlalu lamban untuk merespon perubahan zaman. Penyakit inilah yang dipercaya menjadi sebab utama kekalahan telak Inggris pada laga match of the century.
Setiap taktik yang bagus selalu terdiri dari keseimbangan antara teori serta ketersediaan pemain untuk menjalankannya. Jika bukan karena ketelitian Sebes memahami para pemainnya, maka taktik mereka tidak akan pernah berjalan sempurna. Keunggulan utama Hungaria adalah kemampuan mereka untuk bermain cair dan bergerak leluasa. Sebes mencatat detail-detail pergerakan pemainnya untuk kemudian menerapkannya dengan seksama di lapangan. Karena begitu cairnya permainan Hungaria, menyebabkan formasi WM (3-2-2-3) pada papan taktik menjadi formasi 4-2-4 saat diterapkan di lapangan.
Pergerakan Hidegkuti sebagai centre-forward lebih banyak bermain mundur ke belakang sehingga lebih sering dianggap sebagai gelandang daripada penyerang, ia juga bertugas untuk menyuplai bola kepada kedua penyerang. Dua inside-forward bergerak lebih maju, Kosnik lebih sering beroperasi di kotak penalti musuh sedangkan Puskas bergerak lebih bebas. Kedua sayap bermain lebih mundur untuk mendekatkan diri kepada Hidegkuti. Begitu juga kedua full-back bermain lebih melebar dan sesekali maju mendampingi para winger. Lorant, bek tengah, bergerak mendekati dan menyuplai bola kepada Boznik yang memiliki tugas pengatur bola. Zakarias sebagai gelandang bermain lebih bertahan dan sering berada diantara dua full back. 2 fullback, 2 gelandang bertahan, 2 gelandang menyerang, 2 sayap, 2 penyerang, menjadikan formasi ini terlihat seperti 4-2-4 dibanding WM 3-2-2-3.
Final Piala dunia 1954 adalah satu kekalahan yang paling disesali oleh skuad ini, namun sekaligus menyempurnakan pola 4 bek. Keganasan Hungaria saat menyerang meninggalkan kelemahan di sisi pertahanan. Saat itu Sepp Harberger, pelatih Jerman, mampu membaca celah yang muncul pada formasi 3 bek Hungaria, dan di saat yang sama mampu meredam pergerakan Hidegkuti dan Puskas. Sehingga Jerman mampu ‘merampok’ piala dunia dari tim terbaik masa itu. Inilah yang mendorong Sebes untuk menurunkan Zakaria, gelandang bertahan, untuk bermain lebih ke belakang memberikan pelindung bagi formasi 3 bek. Dan secara perlahan terbentuklah formasi 4 bek.Hungaria mendominasi dunia sepakbola di era 1950an. Formasi 4-2-4 mengantarkannya pada rekor 6 tahun tak terkalahkan (tampa menghitung kekalahan dari Jerman di Piala Dunia). Sampai akhirnya Turki berhasil menghentikan tim terkuat di dunia itu pada 1956. Keganasan timnas Mighty Magyars mungkin meredup, namun pengaruh Hungaria bertahan lebih lama. Ialah Bela Guttman yang mampu menyebarkan paham Hungaria ke berbagai pelosok dunia.
Guttman memiliki kepribadian ekpresif dan mudah marah, berbeda dengan Sebes yang lebih kalem dan mau berkompromi. Gutmann sempat berada satu klub dengan Puskas di Budapest. Ada kisah unik disini, saat itu Guttman kesal dengan permainan Patyi, pemain fullback-nya yang bermain agresif. Ia menyuruh Patyi untuk tidak bermain lagi di babak kedua karena tidak suka permainan kasarnya. Puskas, sang kapten, membela Patyi dan memintanya tetap bermain karena timnya akan bermain dengan 10 orang jika ia tidak main. Patyi bimbang dan akhirnya mengabaikan Guttman sebagai pelatihnya. Gutmann langsung pergi meninggalkan pertandingan keluar stadion bahkan keluar negeri untuk melatih klub lain. Seperti itulah kurang lebih kepribadiannya.
Ia terkenal sebagai pelatih yang suka melanglang buana keliling dunia. sekitar 25 kali berganti klub. Ia hampir tidak pernah bertahan lebih dari 2 tahun. Tahun ketiganya selalu diiringi masalah. Beberapa klub besar yang pernah ia latih diantaranya AC milan, Sao Paulo, Porto, serta Pananthinaikos. Selama perjalanannya itulah ia aktif menyebarkan paham 4-2-4 Hungaria.
Setelah perseteruannya dengan Puskas, Guttman pergi ke Italia. Disana ia melatih Triestina, Padova, kemudia AC Milan. Karena kepribaadiannya, ia dipecat saat berseteru dengan jajaran direksi Milan, meskipun saat itu sedang memuncaki klasemen liga. Setelah itu ia sempat melatih di Ciprus sebelum kembali ke Hungaria, dan berbaikan dengan Puskas. Saat itu Revolusi Hungaria berkecamuk, dan klub ingin menyelamatkan paa pemainnya dengan melakukan tur ke Amerika Latin. Saat tur berjalan, Gutmann tidak ingin kembali dan ingin menetap di Brazil, ia terpukau oleh potensi sepakbola disana. Pola 4-2-4 yang diajarkan Guttman dipercaya menjadi formula utama yang digunakan brazil saat mampu menjuarai Piala Dunia 1958. Kehebatan Guttmann adalah mampu mengatur para pemain Brazil yang terkenal sangat kasual dan individualis.
Dari Brazil, ia pindah ke Portugal dan langsung membawa Porto juara liga. Dari Porto ia pindah ke klub rival Benfica. Ia menjuarai piala Eropa di musim pertamanya. Kemudian mengorbitkan Eusebio, yang kelak menjadi pemain legendaris Portugal sepanjang masa (sebelum era Cristiano Ronaldo). Musim berikutnya ia berhasil kembali menjuarai piala Eropa setelah menang melawan Real Madrid di final. Publik terlanjur yakin bahwa Benfica mampu menguasai Eropa di era 60an sebagaimana Madrid di era 50an. Namun ternyata itu tidak terwujud. Setelah pertandingan final kedua, Guttmann yang merasa bonus juara eropa lebih kecil dari bonus juara liga, mendatangi direksi klub namun berakhir dipecat. Dari sinilah dongeng ‘Kutukan Guttmann’ berasal. Selanjutnya Guttmann mengembara ke Yunani, Swiss, Uruguay, dan sempat melatih timnas Austria.
Sistem 4-2-4 yang dibawa oleh Hungaria terbukti sangat jenius pada masanya, Gutmann mampu juara di 5 negara berbeda (Hungaria-Ujpest, Brazil-Sao Paulo, Uruguay-Penarol, Yunani-Pananthinaikos, Portugal-Porto,Benfica) bahkan dengan waktu yang relatif singkat untuk membangun sebuah tim. Pelatih sukses Hungaria lainnya, Maron Bukovi, juga sukses menyebarkan paham 4-2-4 ke Kroasia dan Yunani. Guttmann, Bukovi, Sebes disebut sebagai trio inovatif dalam sepakbola Hungaria bahkan dunia di masa itu.
Posting Komentar
Posting Komentar