Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 5

Chapter 5: Organised Disorder

Chapter ini menceritakan perkembangan sepakbola di tanah komunis, Uni Soviet. Pendekatan taktik yang dilakukan baik sebelum dan sesudah perang dunia ke-2. Uni Soviet yang mengisolasi diri setelah revolusi awal abad 20. Ini menjadi alasan sepakbola disana lambat berkembang. Namun setelah perang dunia ke-2, dimana Soviet dan Inggris bersama-sama melawan Fasis Jerman, sepakbola Uni Soviet mulai bermekaran dan beradaptasi dengan perkembangan sepakbola dunia.

Awal mula perkembangan sepakbola di Uni Soviet diawali dari komunitas Inggris yang menghabiskan sabtu untuk bersantai dan bermain sepakbola. Secara garis besar, gaya permainan di Uni Soviet juga berkiblat pada gaya inggris yang mengutamakan otot. Gaya Danubian Eropa Tengah juga ikut mewarnai perkembangan taktik di Uni Soviet melalui Lviv, kota besar di barat Ukraina yang berdekatan dengan Hungaria.

Perang saudara di Spanyol ikut berperan pada perkembangan sepakbola di Uni Soviet. Republik Spanyol mengirim tim sepakbola ke Uni Soviet untuk memperkuat hubungan dan mencari dukungan dari pemerintah komunis Soviet. Kunjungan ini sangat heboh karena jarang ada tim luar yang mau bermain di Soviet. Ditambah 6 pemain tim Spanyol ini bermain di piala dunia 1934. Yang pasti, kunjungan ini sangat berdampak besar pada revolusi sepakbola di Uni Soviet.

Mengawali tur dengan kemenangan di Moscow 5-1 atas Lokomotiv, tim Basque (pro spanyol republik) ini kemudian melibas semua tim yang dihadapi termasuk kemenangan 7-4 atas tim Dinamo. Pertandingan selanjutnya akan mempertemukan mereka dengan Spartak, sang juara bertahan di liga Soviet. Spartak diharapkan mampu menyelamatkan muka sepakbola Soviet dari kekalahan beruntun tadi.

Berbagai cara diupayakan termasuk memanggil pemain cabutan dari tim lain. Bahkan beberapa pejabat teras dari bidang terkait sampai ikut tidur di kamp pelatihan klub. Semua demi memastikan kemenangan yang ditunggu-tunggu oleh publik Soviet.

Hari itu tidak dimulai dengan baik dengan kick-off yang sempat ditunda karena tim Spartak terjebak macet. Pada babak pertama Spartak sempat memimpin dua kali namun tim Basque itu mampu menyamakan kedudukan. Pertandingan berjalan cukup sengit hingga pada menit 75 terjadi insiden penalti kontroversi yang membuat Spartak unggul. Hingga akhir pertandingan Spartak mampu menyelamatkan muka Soviet dengan skor 6-2.

Publik Soviet dan para jurnalis media mungkin menyambut gembira kemenangan ini, namun tidak bagi beberapa para pihak. Anatoly Akimov, sang kiper bersikukuh bahwa Langara (penyerang Basque) telah mendominasi mereka di udara dan mampu melesakkan satu gol. Dan benar saja, setelah pertemuan dengan Spartak di Moscow, tim Basque ini kembali mampu melibas seluruh lawan selanjutnya di kota Kyiv, Tbilisi, dan Minks. Keresahan menyebar di kalangan para pelaku sepakbola Soviet.

Meskipun kualitas klub-klub Soviet dianggap bagus, namun masih kalah jauh dari klub di negara Eropa lain, khususnya Spanyol yang baru saja membuktikannya. Soviet masih kalah dari aspek umpan jauh, bola udara, sampai serangan dari sisi sayap. Namun Soviet masih percaya bahwa prinsip WM yang selama ini dijalankan memiliki banyak potensi untuk dikembangkan.

Kunjungan tim asal Spanyol saat itu sangat berdampak besar. Hampir semua klub yang dihadapi mampu dilibas, membuat publik Soviet tersimpuh malu dan terbuka matanya untuk mengakhiri isolasi terhadap dunia luar. Hampir seluruh klub di Soviet tergerak untuk merevitalisasi pendekatan taktiknya dalam sepakbola, banyak juga yang menyarankan untuk kembali pada cara lama. Namun berbeda dengan Boris Arkadiev, pelatih asli Soviet dengan visi yang eksentrik. Ia pernah menjadi pelatih anggar dan memperoleh inspirasi serangan balik dari konsep menangkis-membalas pada olahraga tersebut. Ia terkenal memiliki hobi membawa skuad asuhannya ke galeri seni dengan tujuan menumbuhkan jiwa imajinatif. Ia pernah mengantarkan Dinamo Moscow meraih juara ganda (liga dan cup) pada 1937, sebelum akhirnya tim spanyol datang dan memaksanya merenung, memikirkan ulang taktiknya.

Pada taktik WM konvensional, Arkadiev melihat klub menerapkan gelandang yang berkeliaran (roaming) namun tanpa tujuan pasti pada taktik. Pemain yang memiliki kelebihan kecepatan, stamina, atau kekuatan akan berkeliaran keluar dari areanya untuk mencari ruang kosong. Arkadiev menemukan celah ini dan ingin memanfaatkannya. Ia meracik taktik dimana ada 5 pemain menyerang maju secara konvensional, kemudian salah satunya bergerak secara acak atau keluar dari arah biasanya. Ini mengakibatkan kekacauan di sisi pertahanan lawan yang menempelnya. Musuh akan kesulitan mengimbangi gerakan mendadak dari salah satu penyerang tadi. Ditambah lagi ruang yang ditinggalkan oleh bek musuh itu akan diekploitasi oleh penyerang lain. Kebingungan ini menyebabkan kekacauan pergerakan pemain. Namun bukan kekacauan tanpa arah, ini adalah kekacauan yang diharapkan oleh Arkadiev, kekacauan yang diorganisir (the Organised Disorder), begitulah taktik ini dikenal.

Taktik Organised Disorder ala Boris Arkadiev

Salah satu alasan mengapa taktik ini berjalan baik adalah formasi WM masuk ke soviet dalam keadaan matang, sehingga banyak klub mengadopsinya tanpa banyak penyesuaian. Sehingga taktik Arkadiev mampu menembus klub yang terlalu ngotot dengan skema WM ini. Namun bukan berarti taktik ini tanpa perlawanan. Pendekatan yang muncul untuk mengimbangi taktik ini adalah zonal marking. Dimana bek fokus kepada area yang dijaganya, tidak terlalu terpaku pada satu pemain. Meskipun saat itu permainan zonal belum terintegrasi antar lini. 

Melalui taktik ini, Arkadiev telah meletakkan perestroika bagi sepakbola Soviet. Meski perang menghentikan liga di Soviet, perkembangan sepakbola disana tetap berlanjut. Secara bertahap dan perlahan, salah satu gelandang mengambil peran lebih bertahan dan mundur lebih ke belakang menjadi perisai di depan 3 bek. Diiringi dengan mundurnya salah satu penyerang lubang untuk mencover wilayah tengah. Formasi 3-2-2-3 bergerak ke arah 4-2-4, inilah yang memprakarsai terbentuknya posisi 4 bek rata.

Dengan tujuan persahabatan pasca perang, Dinamo melakukan tur ke tanah Britania yang kemudian dikenal dengan passovotchka. Meski telah ditinggal Arkadiev ke CDKA (yang kemudian menjadi CSKA) Moscow, Dinamo melanjutkan prinsip yang telah ada. Tur diawali dengan melawan Chelsea dengan skor 3-3. Meski imbang, namun Chelsea sepertinya kalah canggih oleh taktik pemain Dinamo, para pemain Soviet itu unggul dalam hal energi dan kecerdasan. Para pemain bertahan klub Inggris kewalahan mengejar para penyerang Soviet yang terus berpindah dan bertukar posisi, berlarian kesana kemari, yang hebatnya mereka tidak pernah saling menghalangi satu sama lain. Klub Soviet ini menggila dengan melibas Cardiff 10-1, Arsenal 4-3 dan seri 2-2 melawan Rangers. Passovotchka, sebutan untuk tur ini, menggambarkan sepakbola Soviet yang bermain lebih berkelas, bergairah, dan efektif. Bahkan tak lepas dari aspek hiburan yang selama ini dielu-elukan publik Inggris.

Perdebatan membahas taktik kembali mencuat, tentang bagaimana bisa penganut komunis mengajarkan cara bermain ‘yang benar’ kepada klub Inggris. Tarik ulur antara kolektivitas tim dan ekspresi individu dalam permainan di lapangan. Di tanah Soviet, secara umum taktik dibangun berdasarkan kolektivitas tim. Kerjasama tim lebih utama daripada gemerlap gaya individu. Dan kesatuan unit ini adalah sesuatu yang diajarkan oleh paham komunis. Meski korelasi antara ideologi dan gaya permainan memang lemah, namun sangat sulit dibantah.

Inggris, kebanyakan, percaya bahwa ekpresi individu lebih utama karena bisa memberi perbedaan di lapangan. Baik pemain Inggris maupun Soviet, sejatinya sama-sama bermain mengacu pada rencana awal, mereka mengulangi-ulangi pola serangan yang sama dengan sedikit variasi di lapangan. Pola berulang ini bisa menjadi kelemahan karena mudah terbaca dan bisa ditemukan antitesa nya. Dan antitesa itu dijalankan oleh inisiatif-inisiatif individu.

Gemerlapnya permainan individu nyatanya menyilaukan mata publik sepakbola inggris. Ironisnya, legenda taktik Inggris, Herbert Chapman juga menyadari hal ini. Ia membangun taktik 3 bek didasari kebosanannya terhadap skill para winger Inggris masa itu. WM ala Chapman berfokus untuk menunggu para winger musuh masuk, menumpulkan mereka, kemudian melancarkan serangan balik. Permainan English wing-play mungkin saja memberikan timnas Inggris rentetan hasil baik setelah perang dunia ke-2, namun pada level klub mereka hancur lebur dibuktikan oleh kedatangan passovocthka.

Related Posts

Posting Komentar