Chapter 4: How Fascism Destroyed the Coffee House
Chapter ini bercerita tentang perkembangan sepakbola pada masa antara setelah perang dunia ke-1, serta pengaruh politik ke dalam aspek sepakbola baik di dalam dan luar lapangan. Perjalanan Jimmy Hogan selepas perang ke Eropa tengah untuk membangun sepakbola bersama orang-orang disana. Gaya sepakbola Eropa daratan yang mampu mendominasi dunia. Sebelum akhirnya karya megahnya runtuh karena campur tangan politik.
Mulai 1939, Federasi sepakbola Inggris menerapkan sistem nomor punggung untuk menandakan tiap pemain. Namun angkuhnya, federasi menganggap semua klub menggunakan pola piramida suci 2-3-5 dimana tiap posisi sudah ditetapkan nomornya. Ini menyebabkan penomoran pada taktik WM menjadi acak. Bahkan saat Inggris menjamu tim dari luar, line-up tim luar itu diprint dengan posisi 2-3-5. Ini menyebabkan kebingungan bagi tim Inggris sendiri. Bahkan ada tim yang bersiasat menukar-nukar nomor baju dengan tujuan membingungkan musuh. Disaat Federasi Inggris bersikukuh menyeragamkan sepakbola, sepakbola di luar Inggris justru menunjukkan perkembangan yang lebih baik.
Sepakbola menjadi olahraga populer yang mampu mengumpulkan ribuan bahkan puluhan ribu massa di stadion. Setiap minggunya masyarakat berkumpul menyaksikan pertandingan, bahkan melanjutkan perbincangan mengenai sepakbola esok harinya. Tempat-tempat bercengkrama itu adalah warung kopi (coffee house). Kopi yang kental mengiringi budaya sepakbola yang kian mengental. Dari warung-warung kopi itulah mulai terbentuk semacam basis suporter bagi tiap klub.
Basis suporter ini yang menjadi masukan serta inspirasi bagi klub untuk menentukan gaya permainan dan perbaikan manajemen. Bahkan tak jarang klub sepakbola dijadikan alat perjuangan oleh sebagian masyarakat. Contohnya Josef Uridil, pemain Rapid Vienna, latar belakangnya dari lingkungan kelas pekerja membuatnya dielu-elukan oleh rakyat Vienna bahkan Austria. Ditambah lagi ia mulai membintangi beberapa iklan komersil. Popularitasnya diakui oleh orang-orang meskipun tidak menyukai sepakbola.
Pemain populer lainnya adalah Matiaj Sindelar, ia memiliki kelincahan dalam selalu menemukan posisi yang ideal untuk mencetak gol. Kemampuannya untuk berada dimana-mana adalah alasan kenapa ia dijuluki “der paperiene” atau “si tukang pos”. Kepopuleran dua pemain tadi juga seiring dengan meningkatnya popularitas Wunderteam pada masa itu, timnas Austria yang dilatih oleh Huga Meisl dan Jimmy Hogan.
Meisl dikenal agak kolot dengan pendekatan pola tenunan ‘ala skotlandia’ dan tidak menyukai penerapan third-back. Untuk pemilihan striker, ia lebih percaya pada sosok dengan fisik yang kuat, dimana itu dimiliki oleh Uridil. Namun publik meminta supaya Meisl mencoba memainkan Sindelar. Uridil dan Sindelaar ini sama-sama populer, namun memiliki gaya permainan yang berbeda.
Meisl akhirnya memberikan Sindelar debut internasionalnya saat melawan Skotlandia pada 1931, yang sedang trending dengan julukan “Wembley Wizard”. Hasilnya sangat spektakuler, Austria mengalahkan Skotlandia 5-0. Sindelar menawarkan permainan yang lebih cair, kelincahan yang sangat mengagumkan. Jika diibaratkan catur, Sindelar sudah menang dua langkah di depan sebelum musuh menjalankan langkahnya. Pemain lain bisa ikut menyerang saat musuh kewalahan menutup ruang gerak Sindelar, cikal bakal false-nine. Pengaruh Sindelaar merubah gaya The Danubian School kini bervariasi menjadi Danubian Whirl, dengan ciri permainan lebih cair pada sisi penyerangan. Wunderteam kini menjelma mejadi tim menakutkan, dalam setahun meraka mampu mengalahkan Jerman 5-0, Swiss 8-1, Hungaria 8-2.
Gerakan Sindelar yang bergerak cair membuatnya 'berada dimana saja'. Ini berfungsi menarik musuh yang bermain man-marking, serta membuka ruang bagi rekannya. Sindelar juga rajin turun ke bawah untuk menjemput bola. Saat Sindelar turun, 4 penyerang lainnya akan saling mengirim umpan yang membuat bola berpindah-pindah. Lalu di saat musuh sudah kalang kabut itu lah sindelar kembali naik menjadi penyerang utama.
Ujian sebenarnya bagi Wunderteam akhirnya tiba, melawan Inggris pada mei 1932. Inggris bukan tim besar saat itu, namun dihormati karena pengaruhnya pada perkembangan sepakbola. Inggris saat itu sedang mengalami tren positif 7 kemenangan di 7 laga terakhir, termasuk mengalahkan Spanyol 7-1. Kemenangan Austria atas Skotlandia membuatnya seolah mengambil alih peran tim pembaharu sepakbola, dimana Wunderteam juga bermain dengan gaya 'ala Skotlandia'. Dengan posisi Inggris sebagai musuh bebuyutan Skotlandia, menjadikan pertandingan ini semakin dinanti masyarakat kala itu.
Saat pertandingan, Inggris yang sudah unggul 2 gol di menit 26 bermain bertahan. sepanjang sisa pertandingan, Austria mampu mendominasi permainan dengan umpan-umpan pendek. Austria yang menang possession akhirnya memasukkan gol terakhirnya 5 menit sebelum bubaran, sangat telat untuk merubah kedudukan. Hasil 4-3 untuk kemenangan Inggris.
Meski kalah, Austria tetap dipuji karena memiliki mental bagus meski dalam kondisi tertinggal, namun juga dikritik karena kurang greget saat menyerang, kurang memiliki tusukan ke pertahanan lawan dan eksekusi akhir yang bagus. Satu hal yang pasti ini menjadi cikal bakal perdebatan panas antara ‘daratan Inggris’ versus ‘daratan Eropa’. Inggris dikenal dengan permainan cepat dan tangguh, sedangkan Eropa unggul dalam hal teknik dan ketenangan.
Masa selanjutnya, Italia menjadi negara yang mampu merebut dominasi Wunderteam. Gaya permainan Italia dikenal sebagai gabungan antara Danubian School 2-3-5 dan WM 3-2-2-3. Teknik Italia memang tidak sebagus tim eropa lainnya namun italia unggul secara fisik. Berkembangnya fisik pemuda Italia ini dipengaruhi oleh propaganda pemerintah. Pemerintah Fasis Italia kala itu menggunakan olahraga sebagai propaganda, oleh karena itu mereka mencurahkan energinya membangun olahraga di negeri itu. Hasilnya banyak infrastruktur olahraga tersedia, diikuti kekuatan fisik para pemuda yang meningkat drastis.
Karena infrastruktur yang banyak, klub sepakbola pun bermekaran. Italia membentuk sebuah Komisi Teknik khusus sepakbola, cikal bakal federasi, yang mengatur struktur liga di negara itu. Vittorio Pozzo, yang kelak menjadi legenda sepakbola Italia, ikut andil dalam tim ini karena pengalamannya menjadi manajer di sebuah perusahaan otomotif. Ia ditujuk menjadi pelatih kepala untuk menangani timnas Italia dalam beberapa kesempatan. Ia juga sempat melatih Torino dan Milan.
Pozzo muda adalah fans Manchester United dan bintangnya Charlie Roberts. Inilah alasan Pozzo menyukai formasi WM serta bola-bola crossing seperti yang dilakukan Roberts. Gaya ala Inggris ini dibawa saat ia menangani Italia di Olimpiade 1912, dimana kala itu Italia dikalahkan oleh Austria 5-1. Pertandingan tersebut adalah titik awal pertemuan Pozzo dan Meisl. Periode ketiga Pozzo menangani Italia dimulai pada 1929, pada masa inilah Pozzo mampu membuat sepakbola Italia berjaya di Eropa bahkan Dunia.
Pendekatan Pozzo yang paling mencolok adalah ketika memainkan peran centro mediano, mirip center-half namun dengan pendekatan berbeda. Peran ini memiliki daya jelajah yang tinggi, ia akan menempel penyerang musuh saat bertahan, serta ikut mendukung serangan saat tim sedang memegang bola. Peran ini diberikan kepada Luisito Monti, pemain naturalisasi yang sempat bermain untuk Argentina di Piala Dunia 1930. Monti sebagai center-half mampu bertahan layaknya center-half milik taktik WM, serta mampu mengatur ritme layaknya center-half di danubian school. Pozzo juga memundurkan dua penyerang dalam (inside-right dan inside-left) untuk menciptakan dominasi di lapangan tengah. Racikan pozzo dianggap menjadi salah satu yang pertama mengenalkan konsep man-marking. Serta dianggap efektif karena mampu menyerang dengan pemain sesedikit mungkin di area musuh. Pendekatan ini dikenal dengan il metodo, sebuah metode pendekatan yang lebih visioner daripada il sistema, sistem lama WM dan Danubian School.Alasan lain kesuksesan il metodo adalah, tak bisa dipungkiri, pengaruh pemerintah fasis yang membuat negara Italia diberkahi oleh pemuda dengan fisik yang prima. Fisik sangat berpengaruh besar pada performa Timnas Italia pada piala dunia 1934. Pertemuan Italia dan Spanyol di perempat final berakhir dengan skor 1-1 dan mengharuskan laga ulang. Pada laga ulang ini, keunggulan fisik yang dimiliki Italia memberikan hasil positif.
Pada laga selanjutnya Italia harus berhadapan melawan Austria, sebuah laga yang menandai perebutan dominasi sepakbola saat itu. Pozzo melawan Meisl, Monti melawan Sindelar, Metodo melawan Danubian School. Penerapan Danubian Swirl (gaya Austria dengan Sindelar sebagai penyerang) dianggap kurang greget saat eksekusi akhir. Kelincahan Sindelar mampu dikurung oleh Monti. Italia berhasil memenangkan laga bersejarah itu melalui gol tunggal Giuseppe Meazza, yang kelak namanya diabadikan menjadi nama stadion di kota Milan. Italia melaju ke final menghadapi Ceko, harapan terakhir bagi penganut Danubian School. Kemenangan atas Ceko mengantarkan Italia menjadi juara 1934. Gaya Danubian School khas Eropa tengah benar-benar kalah telak saat Hungaria dikalahkan oleh Italia di final piala dunia 1938.
Pudarnya pesona 2-3-5 Danubian Style ditandai dengan Meisl yang sudah menua, serta para pemain termasuk Sindelar yang menuju penghujung karir. Hingga akhirnya disuntik mati oleh perkembangan politik. Anschluss, penyatuan Austria dan Jerman, menyebabkan sepakbola di Austria berhenti. Pemain Austria pun diharuskan membela negara Hitl-r
Sepakbola Jerman sebenarnya tidak buruk, meski tidak sebagus tetangganya. Sepakbola Jerman mendapat pengaruh WM inggris dan Danubian School di saat bersamaan. Namun mereka mengkreasi gaya mereka sendiri yang disebut ‘der kreisel’ atau ‘gangsing’, sebuah variasi dari Danubian School dimana para penyerang yang tidak memegang bola akan bergerak menuju ruang kosong untuk memusingkan lawan. Timnas Jerman yang diasuh oleh Otto Nerz berhasil melaju ke semifinal di piala dunia 1934. Namun timnas Jerman tidak berkembang sebagaimana diharapkan. Kemudian Sepp Harberger naik menjadi pelatih utama setelah kegagalan memalukan di Olimpiade 1936. Harberger yang dikenal pecinta gaya Danubian kelak membawa Jerman juara dunia 1954.
Nasionalisme tinggi yang diterapkan oleh pemerintah fasis Italia dan Jerman setidaknya memberikan persatuan diantara skuad timnas. Para pemain dituntut untuk mengesampingkan segala perbedaan dengan alasan membela negara, nasionalisme harga mati. Kolektivitas atau persatuan antar skuad ini memudahkan tim untuk bermain dalam satu sistem.
Aspek fisik menjadi keunggulan negara fasis khususnya Italia. Ketangguhan pemain di lapangan sangat berpengaruh besar terhadap hasil pertandingan. Bahkan bisa dibilang aspek ini perlu dimasukkan sebagai syarat dalam menjalankan permainan ‘yang benar’.
Namun fasisme juga membawa hal kelam. Pozzo yang berhasil mengantarkan italia juara dunia 2 edisi beruntun, tidak begitu dianggap berjasa. Stadion besar yang didirikan dekat tempat kelahiran Pozzo diberi nama Delle Alpi, bukan nama Pozzo. Isu beredar bahwa Pozzo tidak mendukung pemerintahan Fasis Mussolini dan bahkan ikut membantu membebaskan pengungsi sekutu saat perang.
Hal tragis juga dialami oleh Sindelar yang enggan bermain untuk timnas jerman asuhan Harberger. Ia ditemukan meninggal di apartemennya. Desas-desus mengatakan bahwa ia diracun oleh pemerintah, yang bahkan berusaha menutup kasusnya. Dua cerita sedih tadi menandakan sepakbola yang ikut terhenti oleh perkembangan politik. Satu hal yang pasti, romansa kepahlawanan dalam sepakbola akan selalu dikenang.
Posting Komentar
Posting Komentar