Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 3

Chapter 3: Third Back

Chapter ini membahas kemunculan bek ketiga hingga menjadi formasi mapan yang menggantikan formasi dua bek selama beberapa dekade terkahir, serta tokoh terkenal yang menggunakannya Herbert Chapman. Sepakbola adalah olahraga holistik, jika ada satu perubahan pada suatu aspek maka akan mengakibatkan perubahan drastis pada aspek-aspek lainnya. Contoh jelasnya pada peraturan offside. Perubahan peraturan ini mengakibatkan revolusi besar pada pendekatan serta formasi permainan tim.

Lahirnya peraturan offside sekarang tak lepas dari performa liga di Inggris yang tampak lambat dan membosankan kala itu. Kebanyakan permainan tim terkurung oleh peraturan offside yang mengharuskan penyerang berada di depan 3 orang pemain musuh. Federasi berniat melakukan perubahan peraturan yang telah bertahan sejak 1880 ini. Opsi pertama adalah merubah batas pemain menjadi 2 orang, atau membuat wilayah khusus bebas offside. Setelah beberapa kali dilakukan tes, opsi pertama diterima dan diterapkan pada musim 1925-1926.

Pada taktik lama, seorang full-back akan mengcover area di belakang dimana satu full-back lainnya akan maju mengejar penyerang musuh. Sehingga penyerang harus melewati dua bek untuk mencapai kotak penalti musuh. Kini dengan peraturan baru, pemain yang harus dilewati penyerang hanya tinggal satu bek. Makanya sering terjadi kondisi 1 lawan 1 antara penyerang dan kiper musuh. Peraturan baru ini berhasil mendongkrak rata-rata gol menjadi 3,69 dari 2,58 di musim sebelumnya.

Perdebatan muncul dari mereka yang mengkritik bahwa sepakbola kini tidak lagi membela keindahan permainan, tapi fokus pada gol dan sisi komersial. “kesalahan terbesar bermain sepakbola dalah berfokus pada poin dan kemenangan, padahal harusnya sepakbola adalah tentang kejayaan. Memainkannya dengan gaya yang penuh romansa”, ujar Danny Blanchflower, kapten Tottenham era 60an. Alasan utama kritik ini karena mereka yang fokus pada kemenangan cenderung bermain negatif, mereka khawatir pada meredupnya era-era sepakbola yang penuh seni.

Herbert Chapman, pelatih legendaris Arsenal, memulai karir kepelatihannya sebagai pemain-pelatih di Northampton pada 1907. Chapman menyadari pada masa itu tim tidak memiliki upaya untuk meraih kemenganan, tim hanya berpikir semacam, “dua pemain di sayap.. satu di kiri..” dsb. Itulah yang membuat chapman merasa perlu membuat kerangka taktik, dimana tiap pemain memiliki fungsi dan instruksi khusus, sebuah formula khusus untuk mencapai kemenangan.

Ia menurunkan satu penyerang (di taktik 2-2-6) menjadi center-half sehingga penyerang yang satunya memiliki banyak ruang untuk memancing bek musuh keluar dari kotak penalti. Menginstruksikan para pemain belakang untuk melakukan passing yang terarah. Sistem racikan Chapman terbukti berhasil membawa Northampton juara Southern League pada 1908 dengan rekor 90 gol. “Lebih dari sekedar tim, kamu memiliki mesin”, sebuah pujian menggambarkan keberhasilan Chapman menjalankan sebuah sistem. 

Ide untuk menerapkan centre-half dengan fungsi lebih bertahan sebenarnya telah muncul sebelum peraturan offside dirubah. Saat melatih Huddersfield di final piala FA 1922, Chapman menurunkan centre-half nya lebih ke bawah. Ia bertugas sebagai stopper dengan instruksi untuk mengunci dan menjegal penyerang-tengah musuh. Queen’s Park juga tercatat menerapkan taktik ini saat menghadapi Rangers di pertandingan Glasgow Charity Cup 1918. Queen’s Park menurunkan pemain tengahnya ke posisi yang sekarang kita sebut central defensive. Untuk kasus Chapman, ia menerapkan taktik ini karena kebanyakan pemain sayap inggris hanya melakukan dribbling, serangan utamanya justru muncul dari tengah melalui umpan terobosan ke tengah (inside passing). 

Chapman pindah dari Huddersfield ke Arsenal bertepatan pada musim pertama peraturan offside diterapkan, Sebenarnya saat itu Huddersfield yang dilatih Chapman sedang dalam perjalanan meraih hatrick juara liga, sebuah prestasi yang belum diperoleh siapapun. Namun Chapman tergoda oleh proyek potensial dari Arsenal serta, tentu saja, gaji dobel. 

Transfer pertama Chapman adalah Charlie Buchan, ia tertarik pada senioritas dan profesionalitasnya. Buchan adalah topskor spanjang masa Sunderland pada masa itu, instingnya merasa perlu ada perubahan posisi center-half dari gelandang penjelajah menjadi pemain stopper yang menanti lawan di garis pertahanan. Chapman merasa perlu merespon dari penerapan sistem offside yang baru, maka ia pun setuju. Sehingga tugas menjaga offside menjadi tugas seorang bek tengah, sedangkan dua full back di sisi bertugas mengantisipasi pemain sayap musuh.

Mundurnya pemain ke center-half meninggalkan kekosongan di area tengah, maka Buchan menyarankan pemain inside-right untuk turun. Lalu Chapman Menurunkan penyerang lubang Andy Neil ke tengah, dimana sebenarnya ia adalah pemain lapis ketiga. Namun disinilah letak kecerdasan Chapman, Ia jeli melihat skill spesifik yang dibutuhkan pada suatu posisi. Andi Neil meskipun lambat, namun ia mampu mengolah bola lebih baik. Jack Butler dengan insting kreatif diplot sebagai centre-half yang lebih mundur ke belakang. Formasi 3-3-4 yang diterapkan masih belum stabil. Chapman terus mengkoreksi sepanjang musim, sehingga muncullah pola 3-2-2-3 atau 3-2-5 atau yang lebih dikenal dengan WM. Perubahan pola ini membawa dampak positif, Arsenal mampu finish di belakang Huddersield yang memperoleh hatrick juara.

Musim berikutnya Arsenal terseok-seok karena tim lain sudah mempelajari kelemahan Butler dalam aspek bertahan. Banyak yang menyarankan untuk kembali ke sistem 2-3-5. Namun Chapman percaya bahwa revolusi harus dilanjutkan, ia merasa perlu menemukan pemain bek sentral dengan mental bertahan yang tanpa kompromi. Akhirnya penantian itu terbayarkan pada sosok Herbie Robert, pemain yang aslinya berposisi sayap ini memiliki tubuh tinggi tegap, serta mampu mengikuti mengikuti semua arahan. Kemampuan utamanya adalah menghalau semua umpan yang melewati areanya, khususnya bola-bola atas.

Saat Buchan pensiun, Chapman menemukan penerus yang lebih bagus pada diri Scot Alex James. Kelincahan dan kecerdikannya mencari celah mampu menghidupkan sistem WM layaknya mesin otomatis menuju kesuksesan. Chapman telah membuat Arsenal menjelma dari yang sebelumnya sering bertarung di zona relegasi, menjadi tim favorit juara tiap musimnya.

Rahasia kesuksesan dari WM ala Chapman adalah kemampuan man-marking dan serangan balik. Dimana kala itu Chapman tidak begitu suka dengan gaya dribbling para winger inggris yang terlalu banyak menggiring dan menggocek bola yang menyebabkan permainan terlalu monoton. Chapman mampu membaca itu dan menerapkan formula yang membuat winger musuh tumpul. Kemudian third-back hadir untuk menghabiskan serangan musuh di tengah lapangan. Saat bola direbut, tim melancarkan serangan balik. Klub-klub pada masa itu masih bertahan dengan cara sederhana, sehingga taktik Chapman mampu mendominasi liga.

Taktik WM mulai diadopsi oleh berbagai tim, namun tidak ada yang sesukses Arsenal. Saat Inggris memanggil Herbie Robert sebagai stopper, dua fullback Arsenal lainnya tidak dipanggil. Hasilnya Skotlandia ‘bertamasya ria’ di pertahanan Inggris, 2-0 untuk Skotlandia. Pada 1928 Skotland mempermalukan Inggris 5-1 di kandang Inggris, ini membuat mereka dijuluki “Wembley Wizard”. Namun faktor lainnya adalah banyak dari pemain Skotlandia bermain di liga Inggris, sehingga Skotlandia mampu mengimbangi permainan cepat inggris.

Banyak klub terobsesi pada WM milik Arsenal, namun mereka tidak memiliki syarat yang dibutuhkan. Sebuah sistem memerlukan komposisi pemain yang tepat, dimana pemain ini tidak tersedia pada semua klub. Hasilnya adalah mereka menghancurkan liga itu sendiri dengan mengembangkan taktik tanpa arah. Chapman, sayangnya, meninggal mendadak tanpa sempat melakukan regenerasi tim.

Kritik banyak beredar, bahwa dulu orang bermain bola dengan hasrat ingin menampilkan sebuah seni. Namun kini para pemain dituntut untuk berkontribusi pada sistem, bahkan kemampuan pemain dinilai dari posisinya di liga/kompetisi. Karena itulah taktik dikenal sebagai sebuah sistem untuk mencapai kemenangan. Dan untuk menjadi sebuah sistem ‘yang benar’, taktik harus mampu mengakomodir pemain untuk masuk kedalam kerangka permainan tim.

Related Posts

Posting Komentar