Chapter 2: The Waltz and The Tango
Chapter ini membahas mengenai perkembangan sepakbola di luar Britania, yakni Eropa dan Amerika Latin. Di eropa, sepakbola dianggap seperti tarian waltz yang indah namun ringan dipahami. Di Amerika Latin, sepakbola sepakbola seperti tarian tango yang bermekaran dari pelosok pelosok desa.
Amerika Latin memberikan sumber daya alam nya, sebagai gantinya Inggris memberikan sepakbola. Begitulah kalimat sederhana yang menggambarkan penyebaran sepakbola yang mengiringi aktifitas orang-orang britania di luar wilayahnya. Selain berdagang, orang inggris juga membangun fasilitas dan komunitas seperti sekolah, rumah sakit, surat kabar, dll. Singkatnya orang-orang Inggris di Santiago, Buenos Aires, Montevideo, Lima, Rio dan daerah latin lainnya bermain bola seperti di negara asalnya.
Di Eropa tidak jauh beda, Berbagai jenis pekerjaan seperti insinyur, bank, diplomasi, perdagangan, dsb. Juga membawa sepakbola ke berbagai daerah di Eropa. Budapest (Hungaria), Vienna (Austria), Prague (Ceko). Belanda, Denmark dan negara negara skandinavia menunjukkan penyerapan yang baik dengan mendominasi semifinal di Olimpiade 1908 dan 1912.
Yang menyita perhatian dari perkembangan sepakbola di eropa adalah penyebarannya dipegang oleh kelas pekerja. Semangat mereka untuk menentukan nasib sendiri berdampak pada gaya mainnya, mereka membentuk cara tersendiri yang berbeda dari ‘cara yang benar’ milik orang-orang Inggris. Meskipun disana banyak komunitas Inggris, dan banyak klub Inggris yang berdatangan melakukan tur.
Orang eropa cukup beruntung karena mendapatkan kesan yang baik dari Skotlandia, yakni gaya permainan dengan umpan pendek dan cepat. Gusztav Sebes, pelatih ternama dari Hungaria era 50an mengatakan, “Kami bermain sepakbola sebagaimana Jimmy Hogan mengajarkan kami. Jika sejarah emas sepakbola kami diceritakan, maka nama beliau akan terukir dengan tinta emas”
Jimmy Hogan, seorang Inggris keturunan Irlandia, dia adalah seorang pemain perfeksionis dan intelektual. Bermain sepakbola sejak 16 tahun, lalu bergabung dengan Burnley pada 1903. Ia pindah ke Fulham yang dilatih oleh Harry Bradshaw. Bradshaw ini lebih mirip staff administrasi dibanding pelatih, namun idenya sungguh brilian. Ia mendatangkan jajaran pelatih dari Skotlandia yang paham akan gaya permainan passing. Pelatih inilah yang nantinya mempengaruhi filosofi permainan Jimmy Hogan. Selain itu, taktik ini juga membawa kesuksesan bagi Fulham. Sayangnya karir Jimmy Hogan sebagai pemain mandek karena cedera. Ia berpindah-pindah klub namun tidak membuatnya makin bersinar, hingga ia berniat untuk menjadi seorang pelatih.
Takdir membawanya ke Belanda, kontrak bersama FC Dordrecht dua tahun ia menularkan pemainan ‘ala Skotlandia’ namun dengan pendekatan fisik yang lebih progresif dan terstruktur. Filosofinya yang populer membawanya untuk menangani timnas Belanda dimana ia mampu mengalahkan timnas Jerman 2-1. Setelah kontraknya habis, ia pulang kampung ke Inggris.
Pada 1912 Hugo Meisl, seorang pionir hebat sepakbola Austria, terpukau akan reputasi Jimmy Hogan dan memanggilnya untuk menangani timnas Austria. Jimmy Hogan dan Hugo Meisl memiliki keresahan yang sama pada pakem 2-3-5 masa itu. Mereka percaya bahwa kebanyakan tim bermain kaku dan mudah ditebak. Strategi masa depan memerlukan kombinasi umpan cepat serta pemain yang terus berpindah. Umpan panjang juga diperlukan untuk meresahkan pertahanan lawan. Teknik individu fokus pada kemampuan merebut bola dan melesatkan umpan, bukan untuk berjoget dengan bola ala permainan amerika latin. Meski pendekatan Jimmy Hogan lebih pragmatis, mereka sama-sama percaya bahwa cara tepat memenangkan pertandingan adalah dengan tetap menjaga penguasaan bola.
Mimpi surgawi sepakbola Austria baru saja dibangun, namun perang dunia 1914 membuyarkan mimpi itu. Jimmy Hogan ditangkap karena berwarganegara inggris. Baron Dirstay, seorang petinggi klub MTK di Budapest, Hungaria mendengar kisah sedih Jimmy Hogan dan tergerak untuk menyelamatkan dan mendatangkannya ke klub. Setelah sekelumit rangkaian diplomasi, Jimmy Hogan bersedia melatih di MTK dengan dibebankan wajib lapor kepada polisi lokal. Metode pelatihannya sukses, MTK meraih juara liga serta mampu diperhitungkan di kancah Eropa.
Di Hungaria, Hogan merasa betah sebagaimana di Austria. Hal yang sangat ia syukuri adalah pemainnya kebanyakan pemuda yang bersemangat dan cerdas. Dengan begitu Hogan mampu mengembangkan pelatihan melalui diagram di kelas-kelas. Jimmy Hogan kembali ke inggris setelah perang berakhir. Ia digantikan oleh pemain seniornya, Dori Kurschner. Nama Kurschner akan lekat dengan sepakbola Brazil di kemudian hari.
Hugo Meisl meneruskan kerja Jimmy Hogan di Austria. Karya besar Meisl adalah wunderteam yang fenomenal di medio 1930an. Menggunakan bentuk piramid dengan pola Skotlandia (passing) namun dengan polesan baru, teknik dikenal dengan “The Danubian School”. Di Eropa, teknik lebih ditekankan pada progresivitas permainan tim. Sedangkan di amerika latin teknik lebih ditekankan pada ekspresi individu.
Di Amerika Latin, karena banyaknya komunitas Inggris yang menyebarkan popularitas sepakbola, klub-klub kriket disana terdorong untuk membuka sepakbola sebagai cabang dari klub mereka. Beberapa sekolah bahkan memperkerjakan guru olahraga dengan spesialisasi sepakbola. Lalu para alumni sekolah tadi menyebarkan sepakbola disana hingga kemudian memprakarsai terbentuknya federasi disana.
Budaya Amerika Latin lebih banyak dipengaruhi para imigran Spanyol dan Itali, mereka dikenal lebih flamboyan dan kasual. Ini juga tampak pada gaya permainan sepakbola di Amerika latin dimana mereka lebih menekankan pada teknik individu sebagai ekspresi keindahan seperti tarian. Mereka kurang menerima budaya inggris yang terkesan disiplin dan keras.
“Like tango, football blossomed in the slums”, Eduardo Galiano, jurnalis asal Uruguay.
Publik terkesan dengan hasrat pemain Latin yang artistik dalam menguasi bola. Sejarah mencatat Uruguay dan Argentina menguasai final Olimpiade 1928 dan Piala Dunia 1930. Bermain elegan tanpa meninggalkan taktik adalah kunci utama Uruguay mengalahkan rivalnya di dua final tadi. Dari dominasi negara latin ini, Inggris memperoleh perlawanan dalam menunjukkan ‘cara benar’ bermain sepakbola. Bermain indah secara individual tanpa mengorbankan kehormatan dan kolektivitas tim.
Perkembangan gaya permainan rioplatense (Argentina, Uruguay, dan sekitarnya) dipercaya bermula pada 1922 saat tim Ferencvaros asal Hungaria berkunjung ke Agentina. Klub Ferencvaros menularkan gaya Danubian School kepada masyarakat disana yang kemudian merevolusi cara pikir mereka dalam memainkan sepakbola.
Perkembangan selanjutnya memunculkan gerakan khas dan trik dalam sepakbola seperti tendangan voli, diving header, bicycle kick, dan lain-lain. Aspek hiburan, seperti gaya dan trik, dalam permainan kini masuk menjadi salah satu syarat untuk memenuhi ‘cara benar’ bermain sepakbola, membuatnya menjadi lebih menyenangkan dan berhasrat. Di saat Inggris terlalu terobsesi dengan dribbling dan adu fisik yang monoton, dunia luar justru memberikan Inggris pelajaran yang lebih inovatif.
Posting Komentar
Posting Komentar