Laporkan Penyalahgunaan

Ulasan Buku Inverting The Pyramid: Chapter 1

Epilog

Didasari keresahan karena kegagalan Inggris untuk lolos EURO 2008, berbagai reaksi fans mengeluhkan performa timnas ingris beberapa tahun terakhir. Fans merasa harusnya timnas bisa bermain bagus karena pemain-pemainnya sudah bagus. Mereka khawatir dominasi sepakbola Inggris akan tenggelam, seperti Austria, Hungaria dan Uruguay dimana mereka adalah raksasa yang mendominasi sepakbola di awal abad 20.

Merujuk pada tahun 2002 dimana Brazil jadi juara dunia, timnas brazil dihiasi pemain-pemain terkenal seperti Ronaldo dan Ronaldinho. Popularitas liga Inggris yang saat itu sedang tinggi-tingginya menghasilkan banyak pemain terkenal macam Terry, Gerrard, Lampard, Beckham, Owen, dll. Bukannya membawa prestasi malah gagal lolos kualifikasi.

Di sisi lain, banyak percaya bahwa skuad bintang saja tidak cukup. Perlu ada gaya permainan yang bagus untuk bisa membangun fondasi sepakbola yang baik, siapapun pemain nya. Gaya permainan inilah yang akan mendatangkan prestasi. Tapi ini juga menimbulkan pertanyaan fundamental berikutnya, “bagaimana cara yang benar dalam bermain sepakbola?”.

“Apa yang ingin saya perjelas adalah bahwa saya tidak percaya ada SATU ‘cara yang benar’ untuk bermain (sepakbola)”.- Jonathan Wilson

Desas-desus menyebar bahwa momen saat Inggris juara 1966 adalah momen paling buruk untuk sepakbola Inggris. Ini membuat seluruh Inggris menganggap gaya permainan Alf Ramsey, Pelatih timnas inggris saat juara dunia, sebagai cara terbaik dalam bermain sepakbola. Kemudian cara ini diagung-agungkan seantero Inggris bahkan dijadikan acuan secara umum.

Tidak salah berpikir demikian, namun jika dilihat dari beberapa manajer yang mampu untuk sukses dalam waktu lama seperti Bill Shankly, Alex Ferguson dan Ancelotti, mereka memiliki kesamaan; kemampuan untuk selalu bisa berubah (evolve). Mereka paham kapan harus meninggalkan winning formula dan membangun formula yang baru. Dan taktik Inggris di 1966 lama-kelamaan pun menjadi usang.

Selalu ada pertarungan dalam menentukan ‘cara terbaik’, antara mengutamakan prestasi juara (pragmatis) atau mengutamakan romansa permainan (idealis). Hungaria 1954 dan Belanda 1974 adalah contoh tim dengan permainan terindah yang pernah dikenal, sayangnya kedua tim tadi kalah di final piala dunia.

Sepakbola bertumbuh di seluruh belahan dunia, hampir tiap negara memiliki ciri khusus dalam ‘cara bermain’ sepakbola mereka. Brazil memiliki keindahan teknik individu, namun mereka lemah dalam hal bertahan. Italia terkenal karena dalam pertahanan yang terorganisir, namun mereka lemah dalam pendekatan fisik. Inggris bermain dengan cepat dan berenergi, namun mereka merindukan teknik seindah Brazil.

Sejarah mengenai taktik sepakbola selalu menampilkan ketegangan antara dua hal; estetika melawan hasil. Ada hal lain yang juga berkaitan, yakni pertarungan antara teknik dan fisik. Mereka yang tumbuh dalam budaya teknik, menganggap bahwa cara meraih prestasi adalah dengan menguasai fisik yg kuat. Sedangkan mereka yang berbudaya fisik, percaya bahwa teknik lebih mampu mendatangkan hasil.

Chapter 1: From Genesis to the Pyramid

Chapter pertama membahas permulaan taktik dari acak tak berbentuk menjadi sebuah bentuk solid seperti piramida. Pada masa awal sepakbola, tidak ada formasi atau bentuk taktik permainan. Semua didasari bahwa ada sebuah permainan tim untuk memasukkan benda bundar (spherical object) ke dalam sebuah target/gawang di ujung wilayah musuh. Banyak kepercayaan bahwa budaya ini berasal dari berbagai kebudayaan seperti Romawi, Mesir, Mexico, Cina, dll. Namun Inggris dipercaya menjadi tempat lahir sepakbola modern karena Inggris yang pertama membakukan sepakbola sebagai sebuah olahraga.

Sepakbola diawali dari olahraga Rugby yang sudah populer, meski rugby saat itu juga belum berkembang seperti sekarang. Ada beberapa pemain yang menggunakan kaki untuk membawa bola karena enggan untuk terjatuh ke tanah. Maka pengunaan kaki (dribbling the ball) ini dipisahkan dari permainan rugby yang menggunakan tangan (hacking the ball) dan menjadi cabang baru. Kemudian beberapa sekolah di Inggris menerapkan olahraga ini sebagai kegiatan siswa. Dan tiap sekolah itu memiliki peraturannya sendiri-sendiri. Pada tahun 1848 atas inisatif beberapa sekolah/universitas yang berkumpul di daerah Cambridge, disusunlah “peraturan Cambridge” (cambridge rules) sebagai peraturan yang disepakati bersama untuk bermain sepakbola. peraturan ini terus mengalami kritik dan revisi, hingga menghasilkan lahirnya Asosiasi (FA) pada tahun 1863.

Tidak ada taktik dan pola permainan pada masa-masa itu. Taktik paling sederhana yang muncul di beberapa sekolah yakni pemain senior membawa bola (dribbling), kemudian pemain junior memback-up belakangnya jika bola lepas atau dihalau musuh. Beberapa pemain yang lebih junior lagi ditugaskan untuk menunggu di belakang di depan gawang. Lalu pada 1870an muncul posisi penjaga gawang yang dibolehkan menggunakan tangan. Pada 1912 dibuat area khusus batasan kiper boleh memegang bola, karena ada kiper yang membawa bola sampai ke tengah lapangan. Formasi paling umum adalah 1 kiper, 1 atau 2 pemain bertahan, sisanya menyerang.

Jika dibayangkan, ini mirip cara bermain kita semasa anak-anak dulu di lapangan dekat rumah.

Seni bertahan diawali dari cara pemain belakang memback-up para penyerang yang kehilangan bola, para pemain back-up ini berikutnya berfokus untuk menjaga musuh dalam posisi bebas yang menunggu bola liar. Bola tidak selamanya menempel di tanah, ia juga kadang meluncur ke udara. Oleh karena itu penggunaan kepala (menyundul) diterima secara luas, yang penting tidak menggunakan tangan. Komposisi umum formasi bertahan pada masa itu adalah dua half-back (bek di tengah lapangan) dan satu full-back (full = ujung lapangan). Umumnya 1-2-7 atau bahkan 1-0-9.

Kemudian disusun peraturan offside-onside untuk menghindari pemain yang hanya menunggu di ujung wilayah musuh, istilahnya ngendok. Sehingga permainan tidak monoton karena para pemain harus bergerak ke wilayah onside untuk dapat meneruskan permainan. Meskipun pada masa itu peraturan offside masih bervariasi tiap wilayah, ini secara perlahan membuat tim bermain lebih terorganisir, membuat masing-masing pemain memiliki tugas yang lebih kentara.

Pertandingan internasional antara Inggris dan Skotlandia tahun 1872 menjadi sebuah catatan sejarah. “Association Rules” disepakati untuk digunakan pada pertandingan ini. Kedua tim menurunkan line-up yang memunculkan beberapa sebutan untuk berbagai posisi pemain. Posisi yang dikenal kala itu diantaranya, “half-back”, “full-back”, “right wing”, “middle” dll. Tak hanya itu, secara taktik, kedua tim ini nantinya akan menjadi dua kutub bersebrangan pada perkembangan awal sepakbola.

https://www.fifamuseum.com/assets/images/c/Titel_3.2a%201872%5B50832%5D-82123c22.jpg

Disaat popularitas sepakbola menyebar luas, Skotlandia sebagai negara tetangga memiliki pendekatan yang berbeda dengan cara orang-orang Inggris bermain. Di Inggris orang lebih sering bermain dengan mendribbling bola hingga ke depan kemudian menembak bola ke gawang, serangan dilancarkan secara simultan sehingga terkesan satu arah. Orang-orang skotlandia mulai mengedepankan kemampuan “passing” dan menjadikannya jurus andalan saat bertemu orang-orang Inggris. Permainan passing dipuji karena keindahannya yang tampak seperti “pola tenunan yang saling berkaitan (interlinked pattern-weaving)”.

Passing versus dribbling ini seolah menjadi menjadi dua kutub antara Inggris dan Skotlandia, yang memang sudah berseteru sejak lama. Namun pertandingan antara keduanya di 1872 menegaskan bahwa passing lebih superior dibanding dribbling. Trend ini berkembang di tanah Britania hingga beberapa tahun. Meski perkembangan strategi selanjutnya berkutat pada upaya meng-kombinasi antara passing-dribbling. Namun efek pasti dari tren ini adalah para penyerang akhirnya memiliki posisi tetap, pemain memiliki/menjaga jarak dengan pemain lainnya. Sehingga pola operan bisa dibangun oleh para weaver (penenun, maksudnya pemain di lapangan).

Jonathan Wilson, Inverting the Pyramid (2008) p25
Skuad Skotlandia versus Inggris, 1872.

Pada masa-masa berikutnya, passing masih mendominasi namun dengan sentuhan fisik yang lebih kuat. Menghasilkan senjata andalan baru: long ball dan umpan silang (dari satu sisi ke sisi lain). Jargon divide and conquer menjadi trending karena serangan yang mengandalkan umpan silang terkesan membagi-bagi wilayah serangan. Di bagian sisi lapangan umumnya para klub menempatkan dua pemain; seorang winger dan seorang inside-forward.

Menanggapi pola serangan yang datang dari sisi lebar lapangan, klub menempatkan dua full-back untuk mengantisipasi serangan dari dua arah. Dua fullback ini berkolaborasi dengan dua half-back yang bertugas lebih maju ke tengah. Pada masa itu, banyak klub bermain dengan formasi 2-2-6. Dua full-back, dua half-back, dua winger kiri, dua winger kanan, dan dua penyerang tengah.

Formasi 2-3-5 muncul menjadi formasi alternatif yang juga populer. Dimana awalnya dua penyerang utama dituntut untuk bisa saling melengkapi dan bertukar posisi. Namun pada penerapannya salah satu penyerang tadi ditarik lebih ke belakang menjadi penyuplai bola. Tercatat pada sebuah pertandingan final piala Wales 1878 antara Druid dan Wrexham, pelatih Wrexham menempatkan satu penyerang lebih ke belakang dengan tugas fokus pada mengatur suplai bola kepada penyerang yang di depan.

Peran pemain di belakang striker ini lebih fokus membantu serangan. Mereka disebut “center-half” karena beroperasi di tengah lapangan. Posisi ini menjadi sangat vital karena mampu menjadi dirijen serangan sebuah tim. Posisi pemain ini lebih mundur mendekati dua pemain di tengah lapangan. Dua pemain tengah lainnya ini sering disebut half-back atau wing-half karena bertugas menghadang para inside-forward musuh. Kini di lapangan tengah ada 3 pemain.

Formasi 2-3-5 dikenal sebagai formasi piramid karena bentuknya yang terkesan seperti piramid. Formasi ini menjadi tren pada dekade 1880an dan beberapa dekade berikutnya. Setidaknya hingga ada perubahan peraturan offside di tahun 1925. Dimana pendekatan dribbling dan all-out attack dianggap ‘cara benar’ bermain sepakbola pada masa itu, maka formasi piramida bisa dianggap sebagai satu pijakan sejarah.

Related Posts

Posting Komentar